Ramai-ramai Jadi Make Up Artist
Keberadaan seniman perias semakin tak bisa dihitung dengan
jari. Profesi yang lebih akrab disebut make up artist atau MUA ini memang
sedang menjadi idaman bagi anak-anak muda, tidak terkecuali laki-laki. Ketika
kita mengetikkan hashtag #muajakarta di kotak pencarian media sosial Instagram
saja, sebanyak 2,19 juta foto telah diunggah oleh akun-akun yang mayoritas
adalah milik ribuan seniman perias. Belum di kota-kota besar lainnya. Foto di
Instagram dengan hashtag #muasurabaya berjumlah 1,06 juta dan #muabandung
mencapai 794 ribu.
Jaman sekarang, menjadi perias memang tidak sulit. Di era
teknologi saat ini, semua ilmu bisa didapatkan di internet, termasuk merias.
Kemudahan inilah yang dimanfaatkan oleh anak-anak muda untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang merias secara otodidak. Lewat Youtube, para perias
bisa mencari tutorial merias sebanyak mungkin sesuai keinginan mereka. Tak
seperti dulu, anak-anak muda saat ini tidak perlu mengemban pendidikan di
sekolah tata rias yang berbiaya selangit untuk bisa menyandang titel perias.
Listya Nursyfa salah satunya. Wanita
berusia 24 tahun ini tidak pernah mengenyam pendidikan di bidang tata rias sebelum
pada pertengahan 2016 memutuskan untuk menekuni profesi perias. Bagi perempuan
kelahiran Bekasi ini, merias adalah hobinya sejak masih SMA. Saat lulus, Listya
ingin melanjutkan kuliah di jurusan tata rias Universitas Negeri Jakarta. Namun
apa daya, sang ibu tidak mengizinkannya. “Mamaku kebetulan kepala sekolah.
Menurut dia, kalau mau terjamin ya harus kerja kantoran. Karena itu, aku kuliah
di jurusan administrasi perkantoran Universitas Indonesia,” katanya.
Tak adanya restu dari orangtua
tidak menyurutkan wanita bertubuh langsing ini untuk menimba ilmu merias. Secara
otodidak, dia mengasah kemampuannya merias. Berbagai tutorial merias di Youtube
ia lahap. Gatal dengan hasil sebenarnya, dia mengaplikasikan teknik-teknik rias
yang didapat dari Youtube ke wajah kakak perempuannya yang rela menjadi kelinci
percobaan. “Memang harus belajar terus. Justru kalau otodidak itu lebih
belajar. Dari pengalaman sendiri, kita bisa mengatasi persoalan yang terjadi.
Misalnya riasannya pecah, kita tahu apa yang harus dilakuin,” ujar Listya.
Saat ini, order yang datang kepada Listya tak pernah
berhenti. Untuk tiga bulan ke depan, akhir pekan Listya sudah terisi dengan
jadwal merias. Setiap bulannya, minimal 30 pelanggan memakai jasanya, baik
untuk acara wisuda, ulang tahun, pertunangan, pernikahan, dan sebagainya. Tarif
paling rendah yang dipatoknya Rp 400 ribu per orang. “Padahal aku sempat kerja
jadi admin di salah satu perusahaan swasta selama tiga bulan sembari merias.
Tapi lama-lama capek. Akhirnya aku harus pilih salah satu. Aku pilih merias aja.
Lagian, habis merias, kita langsung dibayar,” kata Listya sembari tertawa.
Berbeda dengan Listya yang menjadikan perias sebagai profesi
utamanya, Astrid Nur Anisah menjadikan pekerjaan ini sebagai sampingan.
Perempuan 25 tahun ini memang menekuni profesi lain, yakni sebagai dokter gigi.
Namun, karena merias adalah hobinya, profesi sebagai dokter gigi ia jalani
berbarengan dengan pekerjaannya sebagai perias. “Waktu masih sekolah S1
kedokteran gigi dan kemudian koas, aku nggak meninggalkan salah satunya. Keduanya
aku jalani beriringan. Alhamdulillah aku lulus tepat waktu tapi merias pun
tetap jalan,” katanya.
Astrid mempelajari ilmu merias juga secara otodidak.
Panutannya adalah sang ibu yang pekerja kantoran yang mesti merias diri setiap
pagi. Seringkali, wanita berwajah chubby ini menonton berbagai tutorial merias
di Youtube untuk menambah pengetahuan tata riasnya. Namun, ia merasa tak cukup
menggali ilmu lewat itu saja. Belakangan, wanita yang saat ini berdomisili di
Surabaya ini kerap mengikuti kursus merias. “Aku
ngambil beberapa kelas privat sama perias profesional yang gayanya aku suka
banget, seperti Marlene Hariman, Irwan Riady, Adi Adrian, dan Bubah Alfian,”
ujar Astrid.
Saat ini, Astrid memasang tarif rias termurah Rp 700 ribu untuk
pelanggan yang memakai jasanya. Setiap akhir pekan, Astrid selalu merias
pelanggan-pelanggan yang datang dari segmen menengah ke atas. Mayoritas,
pelanggan sang dokter gigi ini berusia sekitar 18-30 tahun. Biasanya, para
pelanggan wanita berambut panjang ini menggunakan jasanya untuk menghadiri
acara wisuda, pesta, pertunangan, dan pernikahan. “Untuk hari-hari
kerja, aku pribadi memang membatasi untuk menerima order merias karena ada
jadwal praktek yang nggak bisa diganggu,” tuturnya.
Salah satu perias muda asal
Jakarta, Bimbi Selmachary, bercerita bahwa ia tetap harus belajar rias sendiri
walaupun wanita berusia 24 tahun ini adalah lulusan jurusan tata rias
Universitas Negeri Jakarta. Menurut dia, ilmu yang didapatkan dari almamaternya
itu hanyalah aturan baku atau pakem dalam merias. “Rias sekarang kan kebanyakan
modern. Itu modifikasi dan kita mesti belajar lagi di luar. Kita kembangin
sendiri sesuai tren saat ini. Untuk yang ini, aku belajar dari Youtube sama
ikut seminar-seminar perias profesional,” kata Bimbi yang mewarisi bakat merias
dari sang ibu.
Hal yang tak kalah penting
yang mesti dimiliki perias adalah kemampuan untuk memasarkan hasil riasannya
agar dilirik calon pelanggan. Menurut Dini Nurdiani, perias asal Bogor,
tidak sulit mempromosikan hasil riasan. Perias cukup memanfaatkan media sosial,
terutama Instagram, pelanggan pun datang dengan mudahnya. “Sekarang jadi perias
tuh tinggal foto jepret sekali, pake hashtag #mua atau #muajakarta atau apa,
udah. Jadilah dia perias. Orang kan nyari perias memang kebanyakan lewat
hashtag,” ujar dara kelahiran 25 tahun silam ini.
Dini berkisah, saat mengawali karirnya sebagai perias pada
pertengahan 2016 lalu, dia memiliki dua akun di Instagram. Satu akun pribadi,
satu akun promosi. Akun promosi itu ia gunakan untuk mengunggah foto-foto hasil
riasannya secara berulang. Cara itu Dini lakukan agar portofolionya itu tetap
berada di urutan teratas pencarian di Instagram dan banyak dilihat orang. “Akun
promosi itu cuma aku pakai 2-3 bulan aja. Karena selanjutnya udah mulai banyak,
pakai akun pribadi udah cukup. Murah banget sih sekarang promosi, nggak perlu
bayar apa-apa,” kata wanita bertubuh mungil ini.
Seperti Dini, perias asal Tangerang Selatan, Pipit Rosianty,
juga mengandalkan Instagram untuk memasarkan jasa riasnya yang dibandrol paling
murah Rp 500 ribu per kepala ini. Namun, ia lebih menekankan pentingnya foto
hasil riasan. Menurut wanita berusia 24 tahun ini, foto portofolio yang baik
adalah foto-foto yang menunjukkan hasil riasan sesuai aslinya. “Tanpa di-edit. Soalnya
klien pernah aku tanya, ‘Kenapa tertarik make-up sama aku?’ Dia jawab, ‘Soalnya
aku lihat foto kamu pakai HP, nggak pake kamera. Kalau pakai kamera hasilnya
bagus-bagus. Aku takutnya menipu’,” cerita Pipit.
Selain kerap mendapatkan pelanggan yang unik, Pipit mengaku
sering mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan selama menjadi perias dalam
satu tahun terakhir ini. Dulu, tas rias yang dimiliki Pipit tidak memiliki
lampu seperti yang dipunyainya saat ini. “Jadi, kalau merias orang subuh-subuh,
mesti pakai senter HP,” ujar wanita berjilbab ini sembari tertawa. “Pas pertama
kali dapat pelanggan juga dapat kulit yang susah, banyak bekas jerawatnya. Itu benar-benar
tantangan. Orangnya sih senang-senang aja, tapi aku kurang puas,” kata Pipit.
Pengalaman berkesan pernah pula dialami Bimbi. Dia pernah
diminta untuk merias mayat. Menurut Bimbi, merias mayat berbeda dengan merias
manusia yang masih hidup. “Kalau merias manusia hidup kan kenyal. Kalau mayat
kaku,” katanya. Di awal, Bimbi mengaku takut. Namun, saat rampung merias, ia
merasa puas dengan pekerjaannya. “Karena habis didandanin tuh senyum,” ujarnya.
“Dan merias mayat itu bayarannya lebih mahal, bisa Rp 3-4 juta sekali rias.
Kenapa? Karena alat riasnya sekali pakai. Nggak mungkin dong habis kita pakein
ke mayat kita pakein ke orang,” ujar Bimbi.
Salah satu perias profesional, Aldo Akira, membagikan resep
untuk perias yang baru terjun di dunia tata rias. Yang utama, menurut pria
berusia 36 tahun ini, adalah tekad dan kemauan yang kuat untuk menjadi
profesional. “Mesti dari hati, bukan hanya karena lagi tren dan hanya untuk
gaya-gayaan,” ujarnya. Seorang perias pun, kata Aldo, tidak boleh berhenti
untuk mempelajari tren merias yang baru. “Aku aja masih belajar. Yang penting,
apa yang dipelajari mesti diperbaharui terus. Harus mencoba sesuatu yang baru.
Kalau mau, bikin tren sendiri,” tutur pria yang berdomisili di Tangerang
Selatan ini.
Menurut Aldo, ilmu merias bisa
didapatkan di mana saja. Perias muda bisa menempuh pendidikan formal di bidang
tata rias. Namun, perias juga bisa mempelajari ilmu ini secara informal. Jika
terkendala dengan biaya sekolah atau kursus yang lumayan mahal, Aldo
menyarankan agar perias-perias baru belajar dari perias-perias senior yang
sudah terlebih dahulu terjun di bidang rias-merias. “Kita bisa ikut senior
dulu. Jangan lupa juga untuk bikin image, kamu fokusnya ke mana. Mau
semua-semuanya diambil atau khusus pernikahan aja,” kata pria beranak satu ini.
Hal penting lainnya yang harus dilakukan oleh seorang
perias, menurut Aldo, adalah dengan senang hati mendengarkan permintaan
pelanggan. Pria berbadan tegap ini mengatakan perias dilarang memaksakan
kehendaknya kepada pelanggan untuk dirias dengan gaya atau tren tertentu. “Dengerin
permintaan klien itu penting, jangan mendominasi. Tanya aja dulu bajunya apa,
acaranya apa, pagi atau malem,” katanya. Untuk menambah servis, perias pun bisa
menyiapkan alat pijat yang bisa digunakan pelanggan saat dirias. “Jadi dia
betah dirias sama aku,” ujar Aldo.
Merk produk kosmetik yang digunakan, kata Aldo, nomor dua.
Memang, semakin mahal produk kosmetik semakin bagus pula kualitasnya dan
berpengaruh ke hasil riasan. Namun, Aldo menekankan agar perias-perias baru
percaya diri dengan produk kosmetik yang dimilikinya. “Percaya atau nggak, dulu
aku cuma pakai satu bedak, tiga lipstick, satu blush-on, satu maskara, dan satu
eyeshadow. Di awal, pakailah yang kamu punya dulu. Dan jangan pernah beli yang
palsu sih, Walaupun murah, kamu nanti bisa di-black list,” kata pria yang
mengenyam pendidikan Sastra Jepang ini.
Kesalahan terbesar perias pemula, menurut Aldo, adalah sifat
yang mudah puas. Harusnya, perias muda tidak boleh terlalu lama berada di zona
nyaman. “Misalnya, aku cuma suka bikin alisnya begini. Jangan, ikuti aja yang sekarang
lagi tren,” katanya. Tapi, Aldo kembali mengingatkan agar perias tidak
memaksakan kehendaknya merias seseorang dengan gaya masa kini. “Lebih fleksibel
aja. Dan satu hal yang perlu diingat, yang wajib, tepat waktu. Yang orang suka
dari aku tuh aku selalu datang on time. Kita juga harus bisa dipercaya. Jangan
sampai kita udah janji, tiba-tiba kita batalin,” kata Aldo.
Saran lain diberikan oleh perias senior, Carolina Septerita.
Perias dari Wardah ini mengatakan bahwa pendidikan tata rias mesti ditempuh
oleh para perias muda walaupun mereka telah mendapatkan begitu banyak ilmu dari
internet. Di awal, menurut Carolina, perias pemula sah-sah saja menyerap
berbagai pengetahuan tentang rias-merias melalui Youtube. “Tapi tetap harus ikut-ikut kursus untuk lebih memperbanyak
tekniknya,” ujar perias yang kerap mendandani wajah perancang busana Anniesa
Hasibuan tersebut.
Carolina setuju bahwa saat ini
profesi sebagai perias tengah digandrungi anak-anak muda. Karena itu, menurut
dia, perias-perias berbakat tersebut mesti memiliki ciri khas. “Itu harus
karena ciri khas adalah yang membedakan kita dengan orang lain sehingga kita
selalu diingat,” ujarnya. Yang tak kalah penting yang harus dilakukan oleh para
perias anyar adalah memasarkan jasanya secara luwes. “Media sosial bisa dijadikan jembatan ke dunia luar. Dunia luar bisa langsung
melihat hasil karya kita. Yang terpenting selalu inovatif,” tuturnya.
Menurut Carolina, peran media sosial
begitu besar untuk mempromosikan diri. Dengan media sosial, seorang perias muda
bisa berhubungan dengan calon pelanggan. Bahkan, jika kreatif,
perusahaan-perusaahan kosmetik akan melirik para perias itu dan menjadikan
mereka brand ambassador. “Punya alat-alat rias yang high-end juga perlu untuk
menunjang pemasaran diri kita sebagai perias,” katanya. Namun, perias baru
tidak perlu memaksakan diri untuk memiliki produk kosmetik kelas atas. “Masih bisa kita akali dengan produk-produk local. Yang penting
tepat pengunaannya,” kata Carolina.***
Artikel ini terbit di Koran Tempo Akhir Pekan 9-10 September 2017
0 comments