Awal

by - September 20, 2017



"Wartawan kok nggak punya blog?"

Mungkin itu pertanyaan yang sering sekali singgah yang akhirnya menggerakkan saya untuk membuat blog ini. Aneh memang ketika menulis adalah pekerjaan saya sehari-hari tapi saya tidak punya blog untuk menyalurkan hobi menulis.

Pertanyaannya, memangnya menulis adalah hobi?

Jujur, tidak pernah terlintas di pikiran saya sekali pun untuk jadi wartawan. Menulis bukanlah hobi. Ketika memutuskan menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, yang mendorong saya adalah keinginan untuk bekerja di stasiun televisi.

Lalu, kenapa akhirnya jadi wartawan kalau tidak hobi menulis?

Mungkin karena terpaksa. Lho? Memangnya kenapa? Begini...

Setelah wisuda, saya langsung diterima di salah satu perusahaan startup di Jakarta. Kala itu, saya menjabat sebagai Digital Content Marketing. Kelihatannya wah kan? Tapi sebenarnya biasa saja. Saya malah tidak enjoy kerja di sana. Bukan karena rekan-rekan kerjanya ya. Lebih karena saya yang mungkin memang tidak suka bekerja hanya di belakang meja dan terkungkung di ruangan kantor. Jenuh? Iya! Karena itu, saat ada lowongan pekerjaan menjadi calon reporter di Tempo, tanpa pikir panjang saya langsung mengeklik tombol apply yang ada di laman Jobstreet.

Sepertinya Tempo mendengar jeritan hati saya saat itu. He-he-he... Satu demi satu tahapan tes berhasil saya lewati. Di awal Agustus, 2015 saat itu, saya mendapat telepon dari bagian SDM Tempo yang memberi tahu bahwa saya lolos menjadi calon reporter Tempo.

Lalu pertanyaan berikutnya, apakah saya senang?

Bisa iya, bisa tidak. Iya, karena saya akhirnya terlepas dari beban untuk bangun pagi setiap hari dan mendekam di dalam sebuah kotak selama delapan jam lamanya. Tidak, karena saya sebenarnya tidak memiliki keinginan sama sekali untuk menjadi wartawan.

Singkat cerita, akhirnya saya benar-benar jadi wartawan Tempo, media yang katanya tersohor yang di dalamnya ada banyak sekali wartawan canggih. Saat itu, saya direkrut bersama 19 rekan saya lainnya yang saat ini sudah menjadi seperti keluarga buat saya.

Sekarang, saya sudah dua tahun mengemban profesi ini. Awalnya, saya mungkin kurang sreg. Tapi, semakin ke sini, saya semakin yakin bahwa wartawan adalah pekerjaan paling menyenangkan di dunia. "Tidak ada pekerjaan yang semenyenangkan ini," sering saya berpikir begitu.

Menjadi wartawan memang pengalaman yang berharga. Profesi ini membuat saya bisa bertemu orang-orang yang selama ini saya tidak pernah bermimpi bertemu mereka. Sebut saja Pak Jokowi, Pak JK, Pak Ahok, Bu Sri Mulyani, Bu Susi Pudjiastuti, dan lainnya.

Menjadi wartawan juga membuat saya belajar begitu banyak hal. Pertama, tentu belajar menulis. Kedua, belajar berjuang. Memang, bertemu dengan pejabat sangat mudah dengan label wartawan. Tapi, jangan harap semua pertanyaan akan dijawab oleh sang narasumber.

Yang paling utama, menjadi wartawan membuat saya tahu banyak informasi. Selama dua tahun ini, saya sudah bertugas di empat desk, metropolitan, nasional, ekonomi, dan terakhir gaya hidup. Lewat keempat desk itu, otak saya dijejali dengan berbagai pengetahuan baru.

Itulah cerita singkat saya. Lewat blog ini, saya akan membagikan berbagai tulisan saya sejak menjadi wartawan Tempo. Kebanyakan akan berupa laporan-laporan hasil liputan yang belum diedit oleh bos-bos saya di kantor. Jadi, selamat membaca teman-teman.***

You May Also Like

0 comments