Pidi Baiq: Menggelikan Jika Saya Mempersoalkan Royalti

by - April 27, 2018



Dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan III September 2017

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memberikan penghargaan kepada penulis asal Bandung, Pidi Baiq, dalam Indonesia International Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, awal September lalu. Penulis yang lahir 45 tahun silam ini dinobatkan sebagai Writer of the Year oleh Ikapi lewat karyanya yang terbit selama 2014 hingga 2016, Trilogi Dilan.

Ketiga novel Pidi yang berjudul “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990”, “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991”, dan “Milea: Suara dari Dilan” itu memang laku keras. Hampir di semua toko buku, ketiga buku yang berisi kisah percintaan antara Dilan dan Milea ini selalu menghiasi deretan buku terlaris. Trilogi Dilan pun berhasil mengangkat nama Pidi sebagai salah satu penulis yang diperhitungkan.

Saat ditemui di markas The Panasdalam, Bandung, Pidi mengaku tak tahu-menahu alasan diberikannya penghargaan itu. Bahkan, dia tidak mengetahui bahwa Ikapi rutin memberikan penghargaan tersebut setiap tahun. “Tentu saya sangat berterima kasih kepada Ikapi. Tapi saya tidak perlu bertanya juga kan alasannya? Nanti saya dibilang cowok bawel,” ujar Pidi sembari tertawa.

Saat ini, Pidi tengah menunggu kerampungan film yang diadaptasi dari buku pertama Dilan. Dengan meledaknya trilogi itu, memang banyak rumah produksi yang menawari Pidi memfilmkannya. Pria yang akrab disapa “ayah” ini pun bekerjasama dengan Falcon Pictures untuk mewujudkan ketiga novel itu menjadi film. Namun, baru satu buku yang dibuat film, Pidi menyesal.

Setiap menelurkan sebuah karya, Pidi memang mengutamakan kenyamanan. Hal yang membuat dia puas adalah terciptanya karya yang berkualitas. Pidi tidak ingin dirinya tercerabut dari karyanya sendiri. Begitu pula saat menulis. Menurut dia, menulis adalah sebuah kebutuhan. “Saya butuh menulis, bukan butuh uang. Bahwa kemudian saya dapat uang, itulah dampak dari kualitas karya,” ujar Pidi.

Bagaimana cerita Anda mendapat penghargaan Writer of the Year dari Ikapi?
Dua hari sebelum acara penganugerahan, saya ditelepon oleh Sekretaris Jenderal Ikapi. Saya sebenarnya tidak tahu ada penghargaan itu. Saat ditelepon, saya malah bilang, “Oh, menang ya?” Kata dia, “Bahagia dong!” Saya memang baru bangun tidur waktu itu. Akhirnya saya datang ke sana. Tentu saya berterima kasih kepada yang memberi penghargaan ini. Kalau ada orang yang menghargai kita masa' kita tidak menghargai mereka?

Apa alasan Ikapi memberikan penghargaan itu?
Tidak diberi tahu. Mungkin mereka menganggap saya sudah mengerti. Jadi tidak diberi penjelasan lagi.

Apa karena Trilogi Dilan?
Tidak tahu juga. Saya tidak bertanya. Saya sangat berterima kasih kepada Ikapi. Tapi kan tidak perlu bertanya juga alasannya. Nanti dibilang cowok cerewet, cowok bawel. Ha-ha-ha.

Apa novel Anda yang terlaris?
Tidak tahu. Royalti kan masuknya ke rekening istri. Memang ada laporan royalti, tapi saya tidak pernah membukanya.

Royalti berapa persen dari penjualan?
Berapa ya? Saya lupa. Mungkin sepuluh persen. Sebetulnya saya tidak mempersoalkan itu. Rasanya menggelikan kalau saya mempersoalkan royalti. Saya menulis bukan karena itu. Saya bisa saja, misalnya penerbit ikut campur dalam wilayah saya berkarya, ya sudah tidak usah diterbitkan. Kalau banyak di-edit, saya pasti menolak diterbitkan. Pasti mereka akan berpikir, “Ini demi laku”. Oh tidak, saya justru bukan karena itu. Menulis itu kebutuhan untuk mengisi waktu. Saya itu butuh menulis, bukan butuh uang. Bahwa kemudian saya dapat uang, itulah dampak dari kualitas karya.

Mengenai pajak untuk penulis, bagaimana menurut Anda?
Saya menghargai orang yang mempersoalkan pajak. Tapi saya bukan orang yang seperti itu. Sebenarnya saya tidak mengerti akan hal itu. Saya baru tahu dapat royalti sekian setelah empat buku, setelah penerbit memberi tahu, “Ayah, royaltinya naik ya.” Oh naik ya? Asalnya berapa? Saya begitu.

Apakah Anda diundang oleh Menteri Keuangan dalam pertemuan dengan penulis-penulis buku?
Tidak. Saya kan bukan penulis. He-he-he.

Apakah ada usul untuk Menteri Keuangan terkait pajak penulis?
Tidak ada karena saya tidak mengerti apa-apa. Tapi saya berterima kasih kepada Tere Liye, berterima kasih kepada Dee Lestari. Mungkin dengan mereka begitu banyak penulis yang terwakili. Bahwa saya tidak tertarik mengurus hal itu, mungkin karena saya tidak mengerti apa-apa soal itu. Saya juga saat membaca beritanya tidak mengerti. Saya malah kaget, “Ya Tuhan, saya kan tidak pernah baca kontrak sama sekali.” Tapi saya tetap menghargai mereka karena tidak bisa juga kita belagu, sok iye, sok murni. Mungkin karena tanpa menulis buku saya sudah dapat uang di tempat lain, saya merasa berbeda.

Menjadi penulis itu cita-cita Anda?
Tidak. Saya menulis ya menulis saja. Misalnya, saya di depan komputer, lagi Twitter-an, tiba-tiba pengen menulis, ya sudah saya menulis. Awalnya saya memang tidak ada niat menulis di blog apalagi menulis sebuah buku . Jadi tidak direncanakan. Semuanya terjadi dengan sendirinya.

Trilogi Dilan juga seperti itu?
Setiap orang memiliki waktunya sendiri kapan dia ingin bicara A, bicara B, bicara C. Mungkin pada waktu itu saya ingin bicara masa lalu.

Apakah Dilan adalah masa lalu Anda?
Tidak. Dilan adalah masa lalunya Dilan dan Milea di tahun 1990. Dilan itu siapa pun. Tidak penting sih siapa orangnya. Yang penting adalah kisahnya.

Foto-foto yang beredar apakah benar sosok Milea?
Tanya saja ke dia. Kan dia suka aktif di Twitter. Coba tanya, benar tidak? Saya itu kalau urusan orang lain tidak bisa memberikan pernyataan. Itu hak orang lain yang harus menjawabnya.

Twitter Milea asli?
Tanya ke dia deh.

Apakah Milea kerap ke The Panasdalam?
Sesekali. Orang-orang yang terlibat di novel Dilan sering ke sini kok, seperti Dilan, Burhan, kecuali Akew karena sudah meninggal kan. The Panasdalam akhirnya memang menjadi markasnya geng motor XTC.

Bagaimana proses pembuatan film pertama Dilan?
Syuting sudah selesai. Prosesnya selama 19 hari. Sekarang tinggal di-edit.

Seberapa dalam Anda terlibat dalam pembuatan film ini?
Sangat dalam. Sulit diceritakan karena sangat detail. Bahkan seolah-olah sayalah sutradara yang sebenarnya. Saya tidak sopan sih. Tapi kan saya harus ikut campur kan? Karena saya lebih tahu Dilan daripada sutradara.

Bagaimana menjaga agar cerita di film tetap sesuai dengan novel?
Setiap media punya budayanya sendiri, punya aturan mainnya sendiri, punya gayanya sendiri. Tentu akan berbeda tapi garis besarnya tetap sama. Ada novel yang saat difilmkan betul-betuk sangat jauh. Saya berusaha untuk tidak seperti itu. Harus sangat-sangat dekat.

Tapi banyak yang memprotes penunjukan Iqbal Ramadhan sebagai pemeran Dilan…
Memang terjadi kompromi untuk Iqbal. Ketika saya berkarya, mengikuti apa yang menjadi privacy saya bukan berarti tidak menghargai pendapat orang lain. Karena kalau diikuti juga kan banyak banget. Mending mengacu kepada diri saya sendiri. Saya takut diri saya tercerabut dari karya saya kalau mengikuti orang lain. Toh Iqbal bukan Dilan. Iqbal adalah orang yang memerankan Dilan.  Dia pasti akan melepaskan ke-Iqbal-annya. Tenang saja.

Sempat diberi pilihan oleh rumah produksi?
Rumah produksi menawarkan pilihan. Cuma kan perasaan saya harus bermain di situ. Semuanya bagus. Akhirnya, mana yang mendekati saja yang saya pilih. "Sepertinya Iqbal deh." Kalau Adipati Dolken ketuaan. Kalau Jefri Nichol kecakepan. Kalau cakep, ngapain PDKT? Setor muka juga orang sudah mau. Pertimbangannya seperti itu.

Tapi Anda sempat melontarkan keinginan untuk tidak memilih artis sebagai para pemeran di film ini…
Saya tidak melihat Iqbal sebagai artis. Kalau kata orang itu artis, saya baru tahu. Saya tidak tahu Iqbal itu siapa, serius. Saya tidak punya televisi di rumah. Saya tidak tahu artis-artis itu siapa saja. Ha-ha-ha.

Bagaimana Anda menjaga agar karakter Iqbal di film sesuai dengan karakter Dilan?
Mengarahkan cara berjalan, cara bersikap, cara bicara, itu pasti.

Iqbal sempat dititipkan ke geng motor?
Tidak. Kebetulan Iqbal sering ke The Panasdalam selama istirahat syuting. The Panasdalam kan markasnya XTC. Karena Iqbal sering ke sini, jadi gabung dengan XTC.

Selain itu, ada lagi yang mesti dikompromikan?
Skenario terjadi kompromi juga. Ada pihak Jakarta dan pihak saya. Akhirnya memang terjadi perdebatan sengit. Sangat sengit malah. Kan awalnya saya mau novel saya dibikin film dengan syarat saya terlibat. Di perjalanan mungkin mereka lupa. Mereka masuk ke wilayah saya. Di situ lah terjadi perdebatan. Ada juga permintaan agar pembantu keluarga Dilan memakai kebaya. Saya merasa ini bukan pembantunya Dilan. Atau Lia pakai baju Tweety, pink, aduh, bukan Lia deh. Aku tahu Lia. Akhirnya saya bilang ke art director-nya, kalau Lia pakai baju ini, dia sukanya Iqbal, bukan Dilan.

Siapa yang akhirnya mengalah?
Pihak saya yang galak. Karena saya tidak masalah filmnya dihentikan. Saya pernah minta, “Hentikan syuting ini!”, karena tidak ada keputusan untuk mengikuti apa yang menjadi referensi saya di masa itu. Saya kan mengacu pada keadaan saat itu. Tapi Jakarta begitu. Ternyata memang frekuensinya berbeda. Mereka tidak salah, saya juga tidak salah. Yang salah adalah ketika kami bergabung. Makanya saya kapok. Novel saya tidak akan dijual lagi kepada siapa pun. Tapi, untuk Dilan kan sudah dikontrak tiga buku, ya sudah. Tapi setelah itu tidak mau lagi, sampai kapan pun. Saya mungkin akan bikin film, tapi tidak di sini, tidak di Indonesia. Bikin sendiri saja.

Anda menyesal?
Menyesal. Dan saya tidak mau lagi kerjasama dengan rumah produksi mana pun. Kecuali siapa pun itu memahami saya. Toh saya juga bertanggung jawab. Ketika saya bilang, “Ikuti saya!”, saya membuktikan kalau itu laku. Mereka mau dipenuhi kemauannya untuk dapat banyak uang. Tapi mereka tidak membalas saya yang ingin puas dengan kualitas karya. Saya tidak menuntut uang lho. Ada rumah produksi lain yang menawarkan sampai Rp 3 miliar. Ini jauh sekali, sangat jauh. Tapi saya tidak mau yang itu karena saya takut tidak boleh terlibat. Mendingan saya uangnya kecil tapi terlibat. Tapi di perjalanan ternyata sama saja. Mendingan uangnya besar sekalian.Ha-ha-ha.

Kapan film Dilan tayang?
14 Februari 2018.

Memang sengaja bertepatan dengan Hari Valentine?
Bukan soal itu sebetulnya. Saya setuju dengan produser karena dia punya alasan bahwa nanti ada film Hollywood yang banyak masuk di akhir tahun. Dia ngomong, “Tayang 14 Februari saja karena saingannya tidak berat, tidak terbagi penontonnya.” Oke, itu kan tidak masuk wilayah berkarya. Selama itu tidak prinsip mah saya sok aja.

Apakah setelah ini ada buku keempat tentang Dilan?
Pacar Dilan setelah Milea kan Cika. Kalau Cika mau cerita, saya tulis. Judulnya Cika Mehrunisa Rabu.

Cika mau?
Dia bilang tidak mau. Saya bisa saja menulis sendiri tanpa persetujuan Cika. Tapi saya harus menghormati hak seseorang. Ini kan menyangkut pribadi dia. Tidak bisa saya seenaknya. Itu gibah nantinya karena ngomongin orang. Nanti saya masuk neraka gara-gara buku bagaimana? Ha-ha-ha.

Di kehidupan nyata, apakah Cika dan Dilan menikah?
Ha-ha-ha. Nanti lihat saja. Sebetulnya lebih ramai sama Cika daripada sama Milea. Cika kan masih SMA, Dilan sudah kuliah. Saat itu, Dilan di persimpangan jalan, sudah mulai harus menentukan pilihan ke mana dia mau. Dia bukan lagi remaja yang bisa seenaknya seperti di masa SMA. Ini justru keren. Dan Cika lebih susah mendekatinya.

Cika disebut cemburu dengan Milea…
Dia bilang cemburu, tapi sedikit lah. Saya pernah minta dia berkomentar tentang novel Dilan. Dia bilang, “Apa yang harus membuat saya merasa keberatan dengan adanya Dilan dan Milea? Toh itu masa lalu mereka dan saya tidak ada di sana waktu itu. Setiap orang akan menjadi tokoh dalam hidupnya sendiri.” Rupanya bijaksana juga dia. Kalau harus cemburu, sedikit sudah cukup.

Kapan kisah tentang Cika ditulis di blog Anda?
Inginnya secepatnya.  Walaupun banyak orang yang tidak suka Cika sebetulnya.

Apakah ada pesan yang ingin disampaikan dari novel-novel Anda?
Tidak. Saya tidak memiliki tendensi apa-apa. Ketika menulis saya tidak punya pesan moral yang ingin disampaikan. Saya ingin lepas dari beban-beban seperti itu. Saya menulis apa yang ingin saya tulis saja.

Apa buku favorit Anda?
Saya suka Al-quran. Meskipun itu bukan syair tapi saya melihat itu sangat indah. Sebenarnya saya tidak pernah mengidolakan seseorang. Saya mengidolakan semua yang berkarya. Pram keren, Rendra keren, Goenawan Mohamad keren. Semua keren lah.

Apakah membaca tulisan mereka?
Kalau ada waktu dan bukunya, saya baca. Karena saya sering dikasih buku ya saya baca. Saya tidak pernah berniat beli. Kadan-kadang istri saya yang beli, saya baca.

Apakah anak dibiasakan membaca?
Tidak, biar saja jadi dirinya sendiri. Masa saya memaksa?

You May Also Like

0 comments